Ruang Bersalin Lagi? Fiuh...



Lagi-lagi harus menghadapi ruang bersalin. Merunut dari pengalaman-pengalaman yang lalu, ruang bersalin bagiku adalah ruangan yang hawanya bisa membuat hatiku merinding, jantungku berdetak lebih kencang, tiba-tiba bagian pencernaan mengalami sirkulasi yang tidak teratur, dan membuat sekujur tubuhku lemas dengan secuil akal yang kebingungan.

Ruang bersalin yang satu ini begitu berbeda. Begitu ramai. Gaduh. Pengujinya berusia kira-kira ada seumuran denganku tapi ada juga beberapa yang lebih tua. Dan yang sedang di uji bukan cuma saya sendiri, tapi juga ada empat orang lain yang menduduki posisi yang sama denganku. Ada ibu-ibu yang saat ini masih mengajar bahasa Inggris di sekolah dasar selama dua tahun lebih. Dia saingan terberatku saat ini. Selain pengalaman, daya berbicaranya jauh lebih besar dibanding kemampuanku. Di samping itu cara berpakaiannya jauh lebih rapi dibandingkan diriku yang hanya memakai jens, kemeja dan jilbab hitam, serta sepatu plastik ala MTC dengan sekuntum bunga plastik berukuran sedang di sebagai hiasannya, tanpa make up. Sementara ibu itu memakai pakaian serba hijau (seperti seragam pns tapi wanrnanya agak lebih muda) dengan make up yang lumayan cantik, serta sepatu high-heels yang high-class. Di samping kirinya duduk seorang gadis. Usianya lebih muda dariku, soalnya dia bilang masih berstatus mahasiswa semester 4 di UIN. Yang membuatku was-was, dia semester 4 bidang sastra Inggris. Terbayang di benakku bagaimana mereka membawakan materi dengan fasihnya dalam bahasa asing itu jauh melebihi kemampuanku. Tapi yang membuatku sedikit lega, ini pengalaman pertamanya. Dia terlihat sangat gugup dan kacau. Mukanya seketika pucat ketika memasuki ruang bersalin itu seperti bercermin pada bayanganku enam bulan yang lalu saat melalui tes yang serupa tapi dengan lembaga dan sistem uji yang berbeda. Ada lagi seorang lelaki. Entah usianya berapa yang jelas dia terlalu banyak tanya di ruangan itu. Membuatku dan dirinya menjadi point of interest selama lima menit di mata para penguji. Gerah rasanya. Tak peduli dengan kualifikasinya, yang jelas orang ini menjengkelkan!

Di ruang bersalin seukuran ruang dua kali ruang ujian mejaku itu perasaanku kacau balau. Awalnya sangat tertekan karena sainganku rata-rata ahli di bidang ini. Belum lagi, mereka semua terlihat sangat siap dengan materi yang akan mereka sajikan. Ada yang membawa kopian materi, ada yang membawa kopian soal-soal latihan, bahkan ada yang membawa makanan dan alat tulis sebagai alat peraga pembantu persentasi. Smemntara saya? Hanya bermodal catatan kasar, outline bahan ajarku di selembar kertas, rasa PD yang sifatnya tiba-tiba, dan strategi mengajar dari tempat kerjaku dulu (jadi sedikit nyesal sudah mencercanya berlebihan. Setidaknya ada ilmu yang bisa kudapat).

Terlebih lagi hanya saya yang langsung lolos babak kedua tes ini. Karena telat memasukkan berkas, jadinya tes tertulisku akan dilaksanakan setelah tes kedua ini. Untungnya Endang memilih alasan yang jelas dan tepat untuk membenarkan keterlambatanku. Soalnya ini kesalahan berdua, jadi harus kompak. Tapi bagaimanapun, keterlambatan bukanlah hal yang bisa ditoleransi dengan mudah. Ada banyak pertimbangan hingga alasanku bisa diterima dan dimaafkan. Konsekuensinya, saya harus menghadapi kedua tes tersebut dalam keadaan sangat tidak siap mental dan strategi. Pasrah!

Perasaanku jadi sedikit lebih tenang ketika kontestan pertama dan kedua selesai melakukan tesnya. Ada sedikit nilai lebih yang kupunya, setidaknya. Si ibu cantik, terlalu keibuan dalam mengajar, sementara siswanya nanti (kalau lulus) adalah anak remaja yang membutuhkan keceriaan dan cenderung mudah bosan. Si anak UIN terlalu teks book. Tapi sebenarnya dia cerdas, sedikit diasah, jadilah dia pengajar yang handal. Yang satunya lagi, si cowok yang mengesalkan itu, malah berpidatotentang cara mengajar yang baik dan benar (hei, ini tes mengajar, bukannya pidato pimpinan upacara!).

Setelah melalui tes, beban itu hilang. Tak peduli lagi bagaimana hasilnya, yang paling penting saya sudah melaluinya. Dengan senyuman. 

Penguji pertama yang memberi komentar, yang dari gerak-geriknya akhirnya saya memutuskan dialah salah satu manajer di bimbel ini, tak henti-hentinya menatapku saat berkomentar. Komentarnya kumulatif, dengan tidak menyebutkan nama, beliau berusaha menjaga perasaan masing-masing kontestan. Pandangan matan digunakannya sebagai sinyal penanda kamulah orang yang sedang saya bicarakan. Banyak kritikan yang ditujukannya padaku, tapi ada pula pujian. Yang membuatku optimis, setidaknya ada pandangan tegas dan penuh peluang di matanya ketika memandangku (ini pandangan subjektifku lho) tidak seperti ketika dia memandang kontestan yang lain. Kepercayaan diriku semakin melambung tinggi setelah mendengar komentar dari penguji-penguji yang lain yang cenderung memujiku.

Tiga minggu telah berlalu dan tak ada secuil kabar-pun dari bimbel itu. Semakin hari harapanku semakin surut. Mungkin hari itu saya terlalu sombong ketika menerima pujian dan sempat meremehkan peserta lain. Hari itu juga saya begitu yakin akan lulus, nyatanya Tuhan berkehendak lain. Ada banyak faktor yang menurutku menjadi faktor utama kegagalanku hari itu:

1. Peserta tes itu bukan cuma kami berempat, tapi ada dua gelombang sebelum kami yang sudah mengikuti tes terlebih dahulu di hari yang sama tapi di jam yang berbeda. Mungkin diantara mereka ada yang kualifikasinya jauh lebih baik dariku.

2. Tes yang saya ikuti kemarin, keduanya hanya formalitas. Sebenarnya sudah jelas saya tidak lulus karena keterlambatan berkas, tapi karena rekomendasi dari Endang, maka saya diikutkan tes tapi dengan hasil yang pasti tidak lulus. Asumsiku ini berdasar dari obrolan singkatku dengan Endang yang membenarkan ada tindakan-tindakan seperti itu yang sering dilakukan bimbel tersebut.

3. Saya terlalu sombong hingga akhirnya sang Khalik memutuskan tali rejekiku hari itu.

Ya Rabb, aku memohon ampunan-Mu untuk kesekian kalinya...
Lagi-lagi saya khilaf.
Sudah berkali-kali diingatkan, tetap saja khilaf...

0 komentar:

Posting Komentar