Ruang Bersalin Sesi Berikutnya


Kali ini lokasinya di tempat yang berbeda tapi dengan ketegangan yang hamper serupa. Ruang bersalin kali ini adalah ruang bersalin yang dalam kamus bahasa Indonesia dapat kita temukan artinya sebagai ruang tempat ibu yang aka melalui proses persalinan atau melahirkan bayinya.

Berawal dari perasaan sakit yang menyerang kandungan k Aan(ntah bagaimana menggambarkannya soalnya saya tidak punya pengalaman sama sekali dalam bidang ini)kurang lebih setengah jam sebelum adzan magrib dikumandangkan. Rasa sakitnya kali ini tidak bisa lagi ditahannya. Keningnya berkerut, diajak becanda tapi tak seuntai senyumpun dapat diumbarnya kali ini. Tidak seperti sakit-sakit yang sering menderanya belakangan ini. Sesakit apapun, saat diajak becanda, pasti dia akan tertawa. Kata orang-orang tua yang sampai sekarang masih terjamin kebenarannya, kalau sakitnya sudah tidak bisa membuat tertawa bahkan tersenyum, itu tandanya bayinya sudah tak sabar mau melihat dunia nyata alias waktunya melahirkan!

Meski saat itu keadaan rumah diserang virus panik, tapi ibu (tentunya satu-satunya yang paling ahli dalam soal beginian dalam rumah karena waktu itu yang ada di rumah Cuma saya, ibu, bapak, mas deka, dan kak aan) tetap berpikir jernih. K aan disuruh segera mandi dan keramas, lalu sholat magrib. Begitu ritualnya menurut ibu. Katanya kalau orang mau melahirkan, sebaiknya membersihkan diri dulu, mandi bersih istilahnya dan menyempatkan diri menghadap kepada sang Khalik sebelum menghadapi para bidan di ruang bersalin.

Tiba di rumah sakit, kami langsung dibuat panik lagi dengan keputusan dokter yang mengharuskan k aan bersalin melalui operasi sesar karena air ketubannya sudah habis sementara pembukaan rahim masih dalam tahap pembukaan 1 diantara 10 pembukaan lagi selama air ketuban mengucur. Kata dokter, sebenarnya air ketubannya sudah lama keluar, tapi mungkin sang ibu tidak menghiraukannya karena dikiranya air seni biasa. Lagi-lagi ketegangan merasuki batin kami ketika dokter bilang harus disesar saat itu juga atau bayinya akan keracunan di dalam rahim. Kali ini ibu jatuh telak. Tak bisa lagi berpikir jernih dan langsung mengiyakan permintaan dokter. Kami pun turut dengan keputusan ibu. Dalam hal ini keputusannya dianggap keputusan terbaik berdasarkan pengalaman.

Saat surat keputusan operasi di tanda-tangani mas deka, saat itu di ruang bersalin, k aan sudah ditemani tabung oksigen di samping kirinya. Di samping kanan, berdiri bapak mengusap-usap kening k aan untuk menenangkan. Saya dan ibu hanya mampu melihat di balik tirai sambil menahan air mata. Perih rasanya. Jangankan bapak yang sudah berkali-kali masuk ruang operasi. Kami, saya dan ibu, yang sudah berkali-kali menunggui orang-orang terkasih kami di depan ruang operasi saja sudah merasakan trauma yang begitu besar saat mendengar kata operasi”. Tapi bapak tetap tegar. Demi anaknya, demi calon cucunya.

Sepuluh menit kurang lebih waktu yang kami butuhkan untuk bergelut dengan kerisauan di depan ruang bersalin sampai akhirnya jeritan tangis itu terdengar. Rasa haru mendengar suara si cilik yang kayaknya sehat wal afiat. Tapi bagaimana dengan ibunya? Setengah jam dia berada di ruang bersalin. Untuk di jahit dan dibersihkan sisa-sisa operasinya

Saya dan ibu ganti-gantian membaca Surah Yasin karena Al Qurán yang sempat terbawa cuma dua dan yang satunya dipegang sama mas deka. Bapak duduk di sudut koridor dekat tanaman hias dengan mulut yang tanpa henti berucap doa memohon keselamatan. K Rni yang kebetulan datang terlambat karena harus menyusui dan menidurkan Thufail terlebih dulu sebelum bisa kabur dan menanti k aan di depan kamar bersalin, duduk terdiam mungkin sambil berdoa di dalam hati. Kami sengaja tak mengabarkan k Oki perihal keadaan k aan, soalnya dia masih berada di terminal menanti keberangkatannya ke Maje’ne. Bapak khawatir, ketika k oki mendengar kabar ini dia langsung mengubah jalur perjalanan ke arah rumah sakit dan bolos kerja. Kami sepakat untuk mengabarinya setelah dia tiba di Maje’ne.

Hari itu bertepatan dengan tahun baru Imlek. Saat bangsa tionghoa mengharapkan rejeki yang berlimpah seiring dengan guyuran hujan lebat. Tapi kali ini tak ada hujan untuk orang Cina. 26 Januari 2009. Rejeki malah dilimpahkan Tuhan bagi keluarga kami. Alhamdulillah, di balik segala musibah, Tuhan menyisipkan anugerahnya yang terindah dengan kelahiran Naílah Az-Zahrah. Sebuah cahaya telah pergi mengarungi nirwaba-Nya, dan kini cahaya lain dititipkan-Nya untuk dijaga dengan lebih baik lagi. Semoga kekhilafan yang lalu tak terulang lagi. Semoga kali ini, amanat dan kepercayaan-Nya pada kami tidak lagi disiasiakan...

0 komentar:

Posting Komentar