PROFESSIONAL AND PERSONAL IDENTITY AT WORK: ACHIEVING A SYNTHESIS THROUGH INTERCULTURAL WORKPLACE TALK [1]

Janet Holmes and Nicky Riddiford

Victoria University of Wellington, Australia

Journal of Intercultural Communication, ISSN 1404-1634, issue 22, January 2010

Di review oleh:

Decy Wahyuni

NIM. P1400210019

Bayangkan jika Anda tiba-tiba harus mengunjungi suatu daerah atau wilayah dimana Anda sama sekali tidak menguasai bahasa daerah tersebut. Apalagi jika sifatnya berupa kunjungan dinas atau posisi Anda sebagai pelajar atau pencari kerja tentunya akan menimbulkan kecemasan dan ketidakpastian yang berlebihan saat berkomunikasi dengan penduduk setempat. Kecenderungan untuk menimbulkan kesalahpahaman akan sangat besar dan berakibat pada konsep diri yang negatif.

Kita tidak boleh meremehkan kerusakan yang diakibatkan oleh kekurangmampuan kita dalam berbahasa, seperti kerusakan hubungan dengan relasi. Bila Anda tidak mampu berbicara dengan bahasa seseorang, maka akan sangat sulit bagi Anda untuk berkomunikasi dengannya. Pola komunikasi yang efektif sangatlah penting untuk menjalin kerjasama dengan orang lain, seperti mitra bisnis, rekan kerja, bahkan teman sebagai sesuatu yang saling menguntungkan.

Keberhasilan seseorang, baik mahasiswa maupun kalangan pekerja di Negara lain ditentukan olah kemampuan mereka dalam menguasai dan mengatasi masalah-masalah budaya. Sementara, kegagalan bisa muncul karena ketidakmampuan atau ketidakpahaman seseorang akan masalah antarbudaya yang pada akhirnya menyebabkan frustrasi. Sebagaimana yang dipaparkan dalam artikel ini tentang keberhasilan proses adaptasi para pekerja imigran professional yang berlatar budaya beragam di Selandia Baru.

Studi Kasus

Adalah Helena dan Andrei, dua pekerja professional berlatar budaya berdeba yang menjadi focus penelitian dalam artikel ini. Yang menarik dalam pembahasan dalam artikel ini adalan ulasan tentang pendekatan kedua objek penelitian yang sangat berbeda dalam mengkonstruk identitas masing-masing melalui aspek sosial dan interaksi transaksional mereka di tempat kerja. Di sini Janet Holmes dan Riddiford Nicky memaparkan strategi sosio-pragmatis yang digunakan oleh dua migran terampil untuk mengelola konstruksi identitas melalui aspek sosial dan transaksional interaksi di tempat kerja.

Penelitian ini berangkat dari pengalaman beberapa dekade terakhir yang terjadi di Selandia Baru dimana migran profesional dari latar belakang budaya beragam dengan keahlian yang sangat dibutuhkan dan potensi untuk memberikan kontribusi yang berharga bagi masyarakat Selandia Baru berulang kali teridentifikasi memiliki keterampilan komunikasi tidak memadai dan bermasalah dalam interaksi di tempat kerja. Cara orang-orang budaya yang berbeda dalam melakukan sesuatu secara luas dipandang dengan kecurigaan, dan dievaluasi negatif oleh sebagian besar masyarakat Selandia Baru.

Tantangan terbesar yang dihadapi para pekerja pendatang di Selandia baru adalah bagaimana cara mereka menyampaikan bahwa mereka memiliki keahlian dan pengalaman yang luas dengan cara yang kompatibel dengan etos Selandia Baru di tempat kerja. Orang-orang dengan keahlian profesional diharapkan untuk menampilkan dan bahkan memamerkan keahlian mereka. Mengelola sintesis antara berperilaku dalam cara yang tepat profesional, sementara juga membangun hubungan kolegial yang kuat di tempat kerja membutuhkan kemampuan sosial yang cukup pragmatis.

Hal ini dipandang Deddy Mulyana (2010) sebagai penyesuaian etika dalam berkomunikasi antara sesama rekan kerja dengan budaya yang berbeda, dalam kasus ini adalah bagaimana para pekerja pendatang mempelajari etika komunikasi yang berlaku umum di Selandia Baru. Dimana etika pada dasarnya berkaitan dengan penilaian tentang perilaku benar atau tidak benar, yang baik atau tidak baik, yang pantas atau tidak pantas, yang berguna atau tidak berguna, dan yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

Dan untuk mempelajari etika yang berlaku di masyarakan Selandia Baru dibutuhkan penguasaan bahasa yang oleh kedua pekerja pendatang tadi disiasati dengan cara ikut serta dalam kursus bahasa secara intensif demi menunjang karir mereka di masa mendatang. Karena bentuk paling nyata dalam komunikasi adalah bahasa, kita pertama-tama akan membahas kata-kata, makna-makna, nada-nada suara, emosi dan kontak fisik; lalu kita akan beranjak ke dampak waktu situasi bisnis di berbagai negeri (Mulyana dan Rakhmat, 2001:38). Semua ini membutuhkan proses, langkah demi langkah dan memakan waktu yang cukup lama tergantung kemampuan adaptasi dan pemahaman individu tersebut.

Penulis artikel ini memaparkan bagaimana proses dan perubahan yang terjadi selama proses adaptasi bahasa dan pemahaman budaya yang dilakukan para pekerja tersebut. Dalam akhir pemamaparan artikelnya, penulis mengharapkan terjadi perubahan sikap para pendatang untuk lebih agresif mempelajari budaya local penduduk agar lebih mudah beradaptasi, dilain pihak juga diharapkan keterbuakaan penduduk atau pekerja local untuk menerima dan membantu proses adaptasi tersebut agar dapat tercipta ‘simbiosis mutualisme’ antara kedua belah pihak yang juga dapat berkontribusi positif terhadap perkembangan perusahaan.

Kasus yang dialami para pekerja pendatang di Selandia Baru ini bukanlah fenomena asing lagi. Hal ini sudah mengglobal dan juga sangat banyak dialami para pekerja Indonesia yang mengadu nasib di negeri orang. Inilah yang menjadi daya tarik utama penelitian ini. Proses adaptasi yang dilakukan dua pekerja pendatang tersebut dapat dijadikan acuan sebagai antisipasi awal bagi para pencari kerja lainnya untuk lebih memperhatikan aspek bahasa sebagai media penyatuan pemahaman antara para pekerja.

Sebuah pelajaran berharga diangkat oleh Deddy Mulyana (2010) tentang penyerbuan yang dilakukan oleh sekitar 10.000 pekerja PT. Drydocks Worl Graha di Batam. Kerusuhan yang diberitakan oleh Harian Pikiran Rakyat pada 23 April 2010 ini disebabkan seorang manajer perusahaan asal India, VJ, menghina pekerja Indonesia dengan sebutan ‘bodoh’ yang kemudian memicu kemarahan para pekerja. Ungkapan ‘bodoh’ yang kemudian terlontar dari mulut sang manajer adalah salah satu akibat dari kurangnya mediasi dalam berkomunikasi antara atasan dan bawahan yang disebabkan oleh kendala bahasa dan budaya yang berbeda.

Banyaknya para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mengalami kekerasan fisik di negara-negara lain juga tak lepas dari kesalahpahaman budaya dan bahasa dalam berkomunikasi. Di sini kita dapat melihat betapa pentingnya pemahaman awal budaya tujuan sebagai modal untuk menyatukan budaya yang berbeda. Dan pentingnya kesadaran para pendatang yang dalam hal ini merupakan minoritas untuk melakukan penyesuaian demi kelancaran pekerjaan mereka. Kasus ini secara nyata berlaku universal dan tidak hanya terbatas pada kaum pekerja saja. Proses adaptasi dan pemahaman budaya ini juga wajib dipelajari oleh para pelajar bahkan juga para pelancong yang akan mengunjungi tempat-tempat baru.

Keunggulan penelitian ini terletak pada focus yang lebih spesifik pada kedua pekerja pendatang di Selandia Baru. Mengingat bahwa permasalahan lintas budaya adalah permasalahan yang sangat pelik dan kompleks maka studi per kasus adalah salah satu metode analisis yang sangat membantu dalam memahami pelik dan uniknya kasus yang terjadi di setiap belahan dunia.

Sebagai penutup, diharapkan penelitian ini dapat membuka mata kita untuk tidak meremehkan perbedaan budaya sekecil apapun karena dapat menimbulkan konflik yang lebih jauh akan menyebabkan kegagalan dalam menjalin hubungan dengan rekan kerja dan atasan. Keterbukaan (openness) para pendatang untuk lebih menerima kondisinya yang harus lebih agresif menyesuaikan diri dengan lingkungan juga keterbukaan para penduduk atau pekerja lokal untuk membantu proses adaptasi tersebut akan memberikan pengaruh positif bagi kedua belah pihak khususnya dan juga bagi perusahaan.

Diharapkan tiap individu dapat menjadi Manusia Antarbudaya (Gudykunst dan Kim, 1984) yakni manusia yang memiliki kepekaan budaya, menghormati semua budaya, memahami apa yang orang lain pikirkan, rasakan dan percayai, serta menghargai perbedaan antar budaya atau dengan kata lain disebut kecakapan antarbudaya (intercultural competence) yang menurut Bennet dan Bennet merupakan kemampuan berkomunikasi efektif dalam situasi lintas budaya dan berhubungan layak dalam berbagai konteks budaya (Moodian, 2009:5).

0 komentar:

Posting Komentar