“STARTING IS ALWAYS BE HARD, BUT THERE’S ALWAYS BE A FIRST TIME FOR EVERYONE”

Selalu ada ‘saat pertama’ bagi setiap orang. Dan yang terjadi pada setiap orang juga terjadi padaku. Pertengahan Januari 2008 adalah saat pertama kali saya menginjakkan kaki di benua lain. Layaknya orang yang akan bepergian jauh, tentu akan banyak ‘wejangan’ atau nasehat yang datang dari berbagai pihak. Dari pihak penyelenggara beasiswa, orang tua, teman-teman dan saudara, buku-buku, dan juga berita tentunya. Semua itu mempengaruhi pola pikir saya sebelum berangkat.

Saya kemudian dihantui kecemasan (anxiety) akan ketidakpastian yang akan saya hadapi terhadap penerimaan masyarakat Amerika terhadap kedatangan orang Indonesia khususnya dengan simbol yang saya kenakan berupa jilbab ini. Apalagi isu terorisme saat itu masih hangat sehubungan peristiwa 9 September yang masih menjadi trauma rakyat Amerika.

Diskriminasi terhadap warga muslim di Amerika kerap disiarkan di media dan menjadi kecemasan terbesar yang saya rasakan disamping kecemasan ketidaksepahaman komunikasi akibat ‘spelling words’ dan ‘grammar’ saya yang masih lemah saat itu, juga penyesuaian terhadap cuaca, makanan, dan gaya hidup yang tentunya sangat jauh berbeda.

Kemudian saya mengambil langkah yang disebut dengan ‘prediksi’. Saya melakukan prediksi tentang apa yang akan saya alami baik di bandara, di dalam pesawat, dan yang terberat adalah saat menjalani pendidikan delapan minggu itu. Meskipun telah menerima materi ‘pre-departure orientation’, saya masih mengalami kecemasan yang berlebihan sebelum berangkat.

Pikiran saya dipenuhi dengan berbagai alternatif tindakan yang harus saya lakukan untuk mengurangi kecemasan akan kecenderungan berbuat kesalahan dalam berkomunikasi yang memberikan dampak yang dapat menimbulkan konflik yang tidak menyenangkan antara saya sebagai pendatang dan mereka sebagai tuan rumah.

Perjalanan pertama, ke Jakarta, menemui teman-teman seperjuangan sedikit mengurangi kecemasan saya. Perasaan senasib ternyata dapat mengurangi tingkat kecemasan dalam menghadapi sesuatu yang benar-benar baru dan asing. Meskipun teman-teman yang ditemui juga adalah orang baru, namun kecemasan dalam menghadapi mereka jauh lebih sedikit daripada kecemasan menghadapi orang Amerika.

Hal ini disebabkan karena kami memiliki suatu kondisi dan permasalahan yang sama sehingga dapat lebih mudah membaur dan beradaptasi. Proses penyesuaian diri yang terbilang sangat singkat cukup efektif untuk menimbulkan perasaan saling membutuhkan dan saling melindungi karena berlatar belakang kebangsaan dan bahasa pemersatu yang sama. Semakin banyak persamaan antara dua individu yang berbeda membuat komunikasi yang terjalin akan semakin efektif.

Melawati Bandar udara Thailand, Jepang, dan San Francisco menuju Arizona memberi banyak pelajaran terutama bagaimana cara membuat orang lain memahami kita agar mereka dapat membantu kita berkomunikasi. Misalnya saat mencari toilet, saat mencari tempat untuk merebahkan badan, saat melewati sensor tubuh dan barang, dan yang paling utama saat menanyakan kandungan makanan yang disajikan pramugari.

Sebelum sampai di Arizona, saya harus melewati beberapa kebudayaan yang berbeda dan bertanya pun harus selalu hati-hati agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Saat menanyakan menu makanan misalnya, saya harus terlebih dahulu menjelaskan keyakinan saya terhadap para pramugari/pramugara agar mereka mengerti bahwa babi itu haram hukumnya dalam keyakinan saya.

Ada saat dimana pramugari enggan memberi tahu apakah stik nya menggunakan daging babi atau ayam, lalu saya berinisiatif bertanya pada penumpang di sebelah saya yang kebetulan dari segi fisik sangat menarik, jadi saya pun menggunakan kesempatan itu untuk mengaktualisasikan ilmu saya selama ini untuk memulai berkomunikasi dengan orang asing ‘stranger’yang kebetulan mirip Jhonny Depp (dipandang dari mata subjekif saya).

Mendarat di San Francisco. Di sini kami (saya dan 13 teman) diuji. Dua dari teman saya ditahan karena namanya yang mengandung kata ‘Ahmad’ dan ‘Abdul’. Keduanya lelaki dan yang membuat saya heran adalah kenapa justru kami (kaum hawa) yang mengenakan hijab tidak ditahan untuk diperiksa? Bertanya pun kami sudah tidak mampu karena ketakutan ditahan dan tidak dipulangkan ke Indonesia.

Di tembok-tembok terlihat beberapa papan peringatan tentang bahaya melakukan perjalanan ke Indonesia, ke Bali utamanya. Meskipun terlambat akhirnya teman-teman kami dibebaskan karena tidak terbukti sebagai teroris. Untungnya pihak penerbangan menyediakan pesawat untuk melanjutkan perjalanan kami. Tapi kecemasan kami tetap berlanjut, apakah ditempat tujuan nanti kami harus melepaskan jilbab agar dapat bergerak bebas, tidak didiskriminasi dan tidak di kucilkan?

Sehari setelah tiba di Tucson, Arizona, jawabannya perlahan-lahan muncul. Ternyata hamper semua stereotype yang ada di benak kami tidak benar. Di luar dugaan, sambutan yang kami terima begitu hangat. Penduduk sekitar sangat ramah, walaupun ada yang tidak ramah itu hanya disebabkan kebiasaan mabuk-mabukan yang membuat mereka tidak dapat berpikir jernih. Baik di apartemen maupun di tempatku belajar, wajah-wajah Asia sering terlihat.

Tidak hanya Asia, dari Afrika dan Eropa pun ada. Ternyata tempat ini adalah sekolah internasional. Sekolah yang menerima siswa dari seluruh penjuru dunia. Dan kami bukanlah pendatang yang buruk karena kami yang datang di sana sudah memiliki pemahaman dasar tentang bahasa yang digunakan. Lain halnya dengan beberapa siswa dari Negara lain yang baru akan belajar ketika sampai di Tucson.

Dan saya menemukan kehangatan ketika bertemu kaum muslim lainnya. Masih ada yang merasa trauma karena pemberitaan media, tapi mereka mengaku bahwa di Arizona khususnya di Tucson prilaku diskriminasi terhadap kaum muslim tidaklah sekejam pemberitaan di media. Media Amerika hanya menyebarkan teror kepada umat muslim di Indonesia agar mereka takut dan tidak melakukan serangan berikutnya. Di Mesjid kampus bahkan ada beberapa pengungsi dari Palestina yang ditampung. Mereka diperlakukan sangat baik, dibiarkan bekerja sebagai guru bahas arab di Mesjid tersebut.

Dari sinilah saya belajar bahwa generalisasi itu perlu sebagai pemahaman awal sebelum mengenal sesuatu lebih dalam tapi generalisasi tidak bias dijadikan kiblat untuk menghakimi perilaku atau sikap seseorang. Jangan menjadikan generalisasi sebagai stereotip. Saya juga belajar untuk tidak mempercayai semua hal yang diberitakan media, karena bagaimanapun yang ditayangkan hanyalah sepenggal fakta, bukan keseluruhan dan itupun dipengaruhi oleh kepentingan seseorang atau sekelompok orang yang berkuasa.

Dan satu hal lagi yang saya pelajari ketika bertemu dengan orang asing (stranger). Bahwa bertemu dengan orang asing bukan hanya tentang bagaimana mempelajari orang baru dengan latar belakang budaya yang berbeda, tapi juga mempelajari budaya itu sendiri. Karena tiap manusia tidak bias lepas dari budaya yang membentuknya. Meski terus berkembang, beradaptasi dengan lingkungan dan dunia yang semakin mengglobal tapi selalu ada budaya yang mempengaruhi tiap perilaku dan sikap individu tersebut.

Akhirnya, setelah mempelajari banyak hal dalam dua bulan itu saya pulang dengan menjadi orang yang berbeda. Konsep diri saya menjadi lebih positif. Tidak lagi takut dengan petugas bandara dan pramugari. Juga membawa keinginan untuk melakukan penelitian tentang budaya yang terpinggirkan dan menjadi kaum minoritas karena stereotip yang berkembang di masyarakat. Saya pulang dan berusaha membuat karya tulis berjudul: Tato dan Perempuan.

0 komentar:

Posting Komentar